Rabu, 19 Agustus 2009

Roman ala Calon Presiden 2009-2014: Satu Raga Berbeda Nyawa

Oleh : Wahyu D Setiawan
(Kepala Divisi Aksi dan Hubungan Luar Departemen Politik dan Hukum BEM FHUI 2009)


Tahun 2009 yang tengah berjalan ini seakan menjadi salah satu momentum peristiwa yang akan tergores dalam tinta sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Tahun 2009 mendapatkan berkah untuk memuat satu babak penting dalam cuplikan nuansa demokrasi di Negara ini. Untuk kedua kalinya, Bangsa Indonesia yang konon belakangan ini lebih sering diteriakkan dari "sabang sampai merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote" -entah suatu gradasi rasa Nasionalisme atau hanya jargon politik sesaat- akan menunaikan hak-hak konstitusinya sebagai warga negara untuk secara langsung memilih pemimpin Negara ini setelah sebelumnya 5 tahun yang lalu. Memang suatu instrumen dalam tatanan ber-Demokrasi bahwasetiap warga negara memiliki hak untuk turut serta berpartisipasi dalam jalannya roda Demokrasi. Di Indonesia, partisipasi rakyat dalam demokrasi dikawal oleh Konstitusi dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Perebutan kursi RI-1 dan RI-2 kali ini diramaikan oleh tiga bursa pasangan calon Presiden dan wakil Presiden. Pasangan Pertama yakni Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, Pasangan Kedua Soesilo Bambang Yudhoyono dan Boediono serta Pasangan Ketiga yakni Jusuf Kalla dan Wiranto. Menjelang dilaksanakannya PILPRES yang direncanakan akan berlangsung pada tanggal 8 Juli yang akan datang, serangkaian manuver politik gencar dilakukan oleh masing-masing calon demi meraih simpati rakyat untuk meraih tampuk kekuasaan di negeri ini. Dalam kesempatan ini dirasa kurang tepat untuk penulis melakukan analisis ataupun pendapat terhadap rangkaian manuver yang dilakukan oleh masing-masing calon karena masih banyak kalangan yang lebih expert untuk melakukan penelaahan terhadap hal tersebut.
Namun ada banyak hal sesungguhnya yang dapat ditarik dalam rangkaian fenomena demokrasi yang tengah berlangsung saat. Kita semua melihat, mendengar dan mengetahui terhadap serangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing calon demi meraih simpati para konstituen-nya. Manuver-manuver yang gencar dilakukan baik secara personal maupun oleh kendaraan politik masing-masing seakan telah menjadi konsumsi harian publik setidaknya dalam satu bulan terakhir. Ada serangan-serangan yang bersifat kiasan namun sangat tajam, lalu ada pula serangan yang langsung ditujukan oleh salah satu kubu terhadap kubu lain. Saling serang dan tangkis antar masing-masing calon sesungguhnya hanyalah serangan terhadap diri mereka sendiri.
Hal yang cukup menarik dibahas dalam kesempatan ini adalah kenyataan masing-masing calon, Presiden maupun Wakil Presiden ternyata pernah berada dalam satu bingkai kekuasaan yang sama. Kita semua tahu dan sejarah pun mencatat bahwa para calon yang tengah bertarung ternyata pernah berada dalam satu raga yang menguasai jalannya pemerintahan. Kita tahu bahwa antara Megawati, SBY dan Jusuf Kalla pernah berada dalam suatu bingkai kabinet Pemerintahan Gotong Royong di era kepemimpinan Megawati. Antara SBY dan Jusuf Kalla pun sampai hari ini masih berada dalam satu bingkai kekuasaan yang sama selaku duet Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya antara Jusuf Kalla dengan Boediono selaku calon Wakil Presiden dari kubu SBY, juga pernah berada dalam satu pemerintahan ketika Boediono menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian dalam kabinet SBY-JK.
Hal yang sama juga terjadi antara SBY, Prabowo dan Wiranto. Ketiganya pernah berada dalam satu kesatuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertugas selaku pengawal Kedaulatan NKRI. Antara Wiranto, SBY dan Prabowo sesungguhnya pernah menjalani hidup bersama sebagai Perwira Tinggi TNI sehingga paling tidak antara ketiganya terdapat suatu keterikatan selaku Purnawirawan TNI. Tak heran publik juga menggaungkan opini bahwa PILPRES tahun ini tak lebih dari sekedar pergulatan antara para Mantan Jendral. Opini tersebut tak urung muncul karena figur yang tampil dapat dikatakan “itu-itu saja”. Akses untuk lahirnya wajah baru atau generasi baru dalam percaturan politik elit yang belum luas ini belum memungkinkan adanya regenerasi bagi kaum Muda untuk tampil dalam pentas politik nasional.
Melihat dari fakta tersebut jelaslah bahwa apa yang saling dilontarkan satu sama lain oleh masing-masing calon hanyalah serangan terhadap diri mereka sendiri. Kritik terhadap kinerja yang telah berlalu -yang dianggap sebagai kegagalan- sesungguhnya juga adalah kegagalan dari pihak yang menyerang itu sendiri. Mengapa? Karena jika memang mereka mencela dan mengkritik masa lalu, mengapa mereka tidak berusaha memperbaiki hal tersebut dikala masih berada dalam tampuk kepemimpinan. Begitu juga jika masing-masing saling mengkritik terhadap apa yang tidak beres pada saat ini, bukankah itu adalah warisan dari ketidakberesan yang pernah ditinggalkan ketika berkuasa di masa lalu.
Namun dikala ada suatu prestasi yang luar biasa, semua selalu mengklaim bahwa keberhasilan tersebut adalah milik mereka sendiri. Bukankah keberhasilan tersebut didapat pada saat mereka berada dalam tampuk kekuasaan yang sama. Ataupun keberhasilan yang saat ini dicapai sesungguhnya adalah buah dari perjuangan yang telah dilakukan di masa lalu. Tak heran bahwa apa yang tengah berlangsung jelang PILPRES ini hanyalah sebuah kelanjutan dari rangkain prosa sejarah sebelumnya yang akan diwarisi anak cucu kita. Hakikatnya, siapa pun yang menang diantara ketiganya, kemenangan tersebut adalah kemenangan pihak "itu-itu saja". Konflik yang seakan “diciptakan” hari ini, seolah berada dalam suatu roman sejarah dengan pelaku tunggal, memiliki satu raga namun berisi nyawa nan berbeda. Babak Baru sejarah dalam pentas demokrasi masih harus menunggu lahirnya generasi baru dalam tataran Elit Politik negeri ini.

Ironi Peran Media Massa dalam Pilpres 2009

Oleh: Rian Alvin
( Wakadept Politik & Hukum BEM FHUI 09)

Pilpres 2009 sebentar lagi akan datang menyapa masyarakat Indonesia. Saat-saat yang amat dinanti oleh masyarakat Indonesia untuk menentukan nasib mereka di tangan pemimpin yang akan memandu mereka selama lima tahun kedepan. Pilpres kali ini notabenenya merupakan pilpres yang demokratis untuk kedua kalinya setelah pilpres 2004, dan di tahun ini banyak dinamika politik yang menarik untuk kita simak bersama. Salah satu yang menarik ialah mengenai peran media massa dalam mensukseskan ajang demokratis lima tahunan ini.

Media massa merupakan elemen penting yang harus dikuasai oleh para calon presiden untuk dapat memenangkan pertarungan di Pilpres tahun ini. Penguasaan pada media massa akan memberikan efek pengaruh luar biasa bagi masyarakat Indonesia untuk dapat menjatuhkan pilihan kepada sang kandidat. Pertanyaannya sekarang ialah penguasaan seperti apa yang seringkali dicoba oleh kandidat capres dan cawapres dalam memenangkan hati pemilih melalui media massa? Jawaban yang sangat umum ialah berkampanye melalui media massa. Efektifkah? Mari kita bahas lebih mendalam sembari jujur kepada diri sendiri dalam menyikapi iklan kampanye di media massa.

Secara umum, format kampanye dapat dibagi dalam dua bentuk. Pertama, kampanye melalui media-media sosial atau kampanye melalui jalur-jalur interpersonal dan kedua ialah kampanye melalui media massa. Kedua format kampanye ini saling melengkapi satu dengan lainnya. Akan sangat naïf apabila seorang kandidat hanya fokus pada satu format saja dan mengabaikan format lainnya. Namun, demi efektifitas dan efisiensi yang mumpuni seorang kandidat haruslah lihai dalam memanfaatkan secara optimal salah satu cara berkampanye dengan cara melihat kepada sifat khalayak yang hendak diraih simpatinya. Maksudya ialah bila sebagian masyarakat adalah mereka yang sudah memiliki loyalitas cukup tinggi terhadap salah satu kandidat, maka berkampanye melalui media massa akan memberikan hasil yang minimal bagi si kandidat. Kampanye melalui media massa akan sangat berpengaruh dan relevan apabila diterapkan dan disampaikan kepada mereka yang masih belum menentukan pilihannya (swing voters), dengan asumsi bahwa masih terbuka kompetisi yang cukup berimbang bagi para calon untuk berebut simpati dari para swing voters ini.

Sebagaimana yang kita semua sadari bahwa sikap masyarakat Indonesia secara umum tidak akan dengan mudah termakan oleh janji-janji yang ditawarkan oleh kandidat dalam kampanye di media massa. Selain menyaksikan iklan kampanye di media massa, masyarakat Indonesia secara individu juga akan mencari tahu informasi mengenai si kandidat melalui perbincangan dengan keluarganya, teman-teman kampusnya, teman-teman arisannya dan seterusnya. Masyarakat juga akan mencoba mengingat-ingat masa lalu para kandidat dan menjadikannya bahan pertimbangan untuk menilai si kandidat secara keseluruhan. Singkatnya kampanye media massa tidak akan terlalu efektif dalam mempengaruhi pilihan masyarakat seutuhnya.

Di lain pihak, dalam era demokrasi saat ini dimana terdapat kebebasan dalam mengakses dan mendapatkan informasi, bisa dikatakan seoang kandidat yang tidak menggunakan sarana media massa dengan baik hampir pasti akan mendapatkan kegagalan dalam meraih dukungan masyarakat secara massif. Tingkat ketergantungan masyarakat pada media massa saat ini sangatlah tinggi sehingga terdapat sebuah kepercayaan bahwa “Anda ada, kalau Anda ada di media”. Mereka yang tidak terlihat di media massa akan dianggap tidak eksis dimata masyarakat. Begitu pun dengan para kandidat presiden dan wakil presiden pada Pilpres tahun ini. Seorang kandidat yang dirasa kurang oleh masyarakat untuk tampil di media bisa menimbulkan sebuah persepsi bahwa kandidat ini tidaklah terlalu “nyata” bagi masyarakat.

Kondisi peran media massa seperti ini ibarat telah menjadi sebuah pilihan yang sulit bagi para kandidat. Di satu sisi ketika mereka berkampanye secara aktif di media massa, mereka beresiko mendapatkan hasil yang minimal ketika masyarakat yang mereka hadapi adalah masyarakat yang sudah mempunyai loyalitas tingi terhadap pilihan mereka sebelumnya. Di sisi lain ketika mereka mencoba menarik diri dari kempanye melalui media massa, maka masyarakat luas akan mempertanyakan eksistensi dan kesungguhan niat mereka untuk mencalonkan diri dalam menjadi pemimpin bangsa ini. Dilihat dari perspektif seperti ini, industri medialah yang sangat diuntungkan karena mereka akan menadapatkan kucuran uang dari para kandidat untuk berkampanye di media massa, bukan masyarakat. Akan tetapi masyarakat sendiri hendaknya harus lebih selektif dalam menentukan pilihan mereka untuk menghindari menjadi korban pencitraan para kandidat dalam berkampanye di media massa. Oleh karena itu kedepannya metode kampanye via media massa tidaklah menjadi patokan utama bagi masyarakat dalam menentukan pilihan. Kampaye yang tulus bukanlah kampanye yang digelar sebulan atau seminggu sebelum pemilihan diadakan, melainkan setahun, dua tahun bahkan lima tahun sebelum pemilihan diadakan dengan cara berkontribusi konkrit di tengah masyarakat. Meskipun faktanya peran media massa saat sekarang ini telah menjadi sebuah ironi bagi demokrasi di Indonesia, tapi begitulah adanya jika kita melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Dampak Sistem Pemilu Presiden Secara Langsung bagi Indonesia

Oleh Gama Ufiz Arfakhsyadz
(Kabid. REKAYASA DISKURSUS POLKUM BEM FHUI 09)


Pemilihan suatu sistem pemilu merupakan salah satu putusan kelembagaan yang penting bagi setiap negara demokrasi. Meskipun demikian, jarang sekali sistem pemilu dipilih secara sadar dan disengaja. Seringkali, pilihan tersebut datang secara kebetulan, karena adanya beberapa peristiwa yang terjadi secara simultan, karena trend yang sedang digandrungi, atau karena keajaiban sejarah. Dampak kolonialisme dan pengaruh negara tetangga seringkali menjadi pendorong dalam memilih sistem pemilu. Meskipun demikian, hampir setiap kasus pemilihan sistem pemilu mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan politik masa-depan negara yang bersangkutan. Dalam kebanyakan kasus, sekali dipilih, sistem pemilihan tersebut akan kurang lebih tetap sama karena kepentingan politik hanya akan mengkristal di sekitar dan bereaksi terhadap insentif yang ditimbulkan sistem tersebut.

Jadi latar belakang pemilihan sistem pemilu sama pentingnya dengan sistem itu sendiri. Seseorang tidak boleh berandai-andai bahwa keputusan seperti itu dibuat tanpa pengaruh politik apapun. Malahan pertimbangan keuntungan politis hampir selalu menjadi faktor dalam pemilihan sistem pemilu. Sedangkan pilihan atas sistem pemilu yang tersedia, pada dasarnya, relative sedikit. Yang juga terjadi adalah bahwa perhitungan kepentingan politik jangka pendek seringkali mengaburkan dampak jangka panjang sistem pemilu tertentu dan kepentingan sistem politik yang lebih luas. Oleh karenanya, dengan menyadari hambatan-hambatan praktis, penulis berusaha mendekati masalah pemilihan sistem pemilu seluas dan sekomprehensif mungkin.

Pada Pemilu tahun 2004, untuk pertama kalinya Indonesia menggunakan sistem Pemilihan Presiden secara langsung. Dalam teori pemilihan umum eksekutif, terdapat dua jenis sistem pemilihan yakni indirect election dan direct election. Indirect election (pemilihan tidak langsung), terjadi ketika presiden dipilih oleh badan yang telah dipilih oleh masyarakt luas, ini merupakan bentuk perwujudan demokrasi secara terbatas. Sedangkan direct election (pemilihan langsung), dimana pemilih secara langsung memilih calon presiden. Menurut Mahfud MD, latar belakang diadakannya pemilihan presiden langsung yakni, untuk memunculkan presiden dan wapres yang memeang dikehendaki rakyat; untuk menghindari politik uang dan meminimalisasi transaksi jabatan; serta untuk menjamin stabilitas pemerintahan.

Pemilihan presiden secara langsung merupakan salah satu ciri utama pemerintahan bersistem kepresidenan/presidensiil. Namun, terdapat ketentuan bahwa pihak pengusul paket capres/cawapres adalah partai politik atau gabungan parpol, sehingga hal ini menimbulkan reduksi sistem presidensiil. Adanya paket calon yang berasal dari Partai politik berbeda menimbulkan tidak tercapainya single chief executive. Sehingga implikasinya adalah terdapat pembagian kekuasaan antara presiden-wapres. Adanya unsur partai politik atau gabungan parpol meupakan bentuk kompromi tingkat tinggi. Secara teoritis, tidak ada kaitannya antara pemilihan presiden dengan partai politik, namun karena pihak pembuat peraturan pilpres adalah legislatif dimana terdapat banyak kesepakatan dan kompromi politik yang dibangun. Unsur partai politik/gabungan dalam UU Pilpres berimplikasi pada banyak hal, termasuk dalam hubungan legislatif dan eksekutif kedepannya, termasuk juga dalam tubuh internal eksekutif.1

Pemilihan presiden secara langsung pada dasarnya akan memberikan legitimasi yang kuat pada kedudukan presiden. Menurut Smita Notasusanto, pemilihan presiden dan wakil presiden dengan dua putaran dijalankan dengan tujuan pokoknya membangun dukungan luas bagi presiden, legislatif maupun masyarakat, sehingga legitimasi politik lebih kokoh dan stabilitas pemerintahan lebih terjamin. Paling tidak ada lima kelebihan dengan memakai sistem ini (Notosusanto, 2002):

1. Memiliki mandat dan legitmasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat secara langsung;

2. Tidak perlu terikat pada konsensi partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah memilihnya;

3. Lebih akuntabel dibandingkan sistem lain. Karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya kepada legislatif atau ‘electoral college’ secara sebagian atau sepenuhnya;

4. Check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih seimbang;

5. Kriteria calon proses dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa pemilihan presiden secara langsung memberikan dampak yang cukup berarti bagi Indonesia. Hal ini terlihat dari semakin kuatnya sistem presidensiil karena dengan sistem pemilihan secara langsung presiden yang terpilih telah sesuai kehendak rakyat. Namun, hal ini perlu diwaspadai karena bisa mengakibatkan kekuasaan yang berlebihan pada Presiden akibat terlalu percayanya rakyat kepada Presiden.

MENGAPA UU PENGADILAN TIPIKOR PENTING ?

Disusun Berdasarkan hasil kajian Departemen Politk dan Hukum BEM FH UI 2009

Oleh : Sakti Lazuardi

Kepala Departemen Politik dan Hukum BEM FH UI 2009

Tak bisa kita pungkiri bahwa masalah korupsi menjadi masalah yang pelik bagi bangsa ini. Masalah korupsi ini bukanlah masalah sehari dua hari kemarin, tapi masalah ini sudah ada sejak zaman pemerintahan Presiden Soekarno dulu, artinya ini merupakan masalah yang urgent untuk diselesaikan, mengingat umurnya yang telah cukup tua hidup di bumi Idonesia. Oleh karenanya diskusi mengenai hal ini selalu dapat mengundang perhatian masyarakat Indonesia pada umumnya dan pemerhati hukum pada khususnya. Karena untuk membangun Negara Indonesia yang maju dan sejahtera, salah satu syaratnya adalah menjunjung tinggi konsep Good and Clean Government yang di dalamnya memuat nilai- nilai anti korupsi. Oleh karena itu, bukan hal yang sia- sia jikalau kita semua mulai melatih diri menjadi pejuang anti korupsi.

Mengingat kejahatan korupsi, berarti kita mengingat sejumlah orang yang mengambil kekayaan milik Negara untuk dijadikan miliknya secara pribadi, mungkin ini yang dipahami secara awam oleh kita semua selama ini. Secara harfiah sebenarnya korupsi berasal dari bahasa latin corruptio, kata ini punya padanan yang berupa kata kerja yaitu corrumpere yang artinya busuk, rusak menggoyahkan , memutarbalikkan dan menyogok. Ada lagi menurut Transparency International korupsi didefinisikan sebagai perilaku pejabat publik , mau politikus atau pegawai negeri , yang secara tidak wajar dan tidak taat hukum memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sini kita mulai menemukan dimensi lain dari korupsi, dimensi yang lebih luas untuk dipahami.

Setelah melihat definisi di atas kita dapat menyimpulkan bahwa korupsi berbahaya, karena identik dengan sesuatu yang negatif. Korupsi bisa menyebabkan penegakan hukum kita menjadi lemah, pembangunan Negara jadi terhambat dikarenakan banyaknya anggaran negara yang dikorupsi, juga bisa dapat menyebabkan mandegnya demokrasi karena menjalankan apa yang namanya politik uang. Artinya kemudian, wajar saja apabila kita menjadikan korupsi sebagai musuh terbesar bangsa, sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) yang menurut covenant mengenai Hak Asasi Manusia memungkinkan untuk menghukum mati pelakunya. Di sini korupsi disamakan dengan kejahatan Genosida, Terorisme dan kejahatan perang. Artinya kita dapat menyimpulkan bahwa perang melawan korupsi hukumnya adalah wajib, bahkan ada yang mengatakan kalau berperang melawan korupsi sama artinya dengan kita berjihad melawan musuh yang sesungguhnya. Ini kemudian diharapkan dapat tertanam dalam diri kita masing- masing sehingga kita dapat menjadi pribadi yang selalu mengatakan tidak pada korupsi.

Salah satu upaya berperang melawan korupsi adalah melalui lembaga- lembaga Negara yang memang mempunyai otoritas khusus untuk ini. Dalam hal ini adalah keberadaan lembaga peradilan yang independen, kredibel, dan kompeten untuk menyelesaikan kasus- kasus korupsi di Negara ini. Lembaga Peradilan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi karena masalah ini terkait erat dengan aspek penegakan hukum. Ini menjadi lahan bagi lembaga peradilan di Indonesia dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Tapi kini, kita semua seakan dihadapkan pada kenyataan bahwa lembaga peradilan kita justru identik dengan mafia peradilan, khususnya peradilan umum. Kasus suap para jaksa dan kasus kecurangan hukum lainnya seolah memberikan bukti- bukti yang jelas akan keadaan ini. Ini merupakan tamparan yang keras bagi kita semua, bahwa kita dapat melihat ‘sapu’ yang harusnya digunakan untuk membersihkan Negara ini dari segala debu dan kotoran yang bernama korupsi, justru berkutat dengan kotornya sapu itu sendiri sehingga tidak mampu membersihkan Negara dari segala macam debu dan kotoran. Ini kemudian menjadi concern kita semua, di era globalisasi yang menuntut sebuah Negara untuk bergerak cepat dan efisien, justru kita terancam menjadi Negara yang inefisiensi dan lambat akibat kebocoran – kebocoran yang diakibatkan oleh korupsi itu sendiri.

Lalu apa kemudian yang bisa kita lakukan sebagai sebuah bangsa menanggapi permasalahan ini?

Sebagai sebuah bangsa yang merdeka, Indonesia harusnya memahami masalah ini. Kalau di atas, penyakit- penyakit peradilan identik dengan peradilan umum, maka mungkin dapat dibuat mekanisme peradilan lain sebagai upaya menghindari penyakit- penyakit peradilan tadi. Sebagai upayanya maka berdasarkan pasal 53 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibuatlah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang khusus menangani kasus- kasus tindak pidana korupsi. Di tengah-tengah pesimisme publik terhadap kapasitas lembaga peradilan dalam menangani kasus-kasus korupsi, Pengadilan Khusus Tipikor adalah suatu terobosan yang rasional dan urgens dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Inilah yang kemudian menjadikan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai sesuatu hal yang spesial dan patut diperjuangkan.

Pertanyaannya kemudian, dengan hanya tercantum/bagian dari UU lain, bagaimana agar membuat kedudukan Pengadilan Khusus Tipikor ini lebih kuat di mata hukum? Pertanyaan ini menjadi penting karena sejak pembentukan Pengadilan Khusus ini, terjadi dualisme penegakan hukum terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan UU No 30/2002, Pengadilan Tipikor hanya berwenang memeriksa kasus dan tuntutan yang dilimpahkan oleh KPK (pasal 53 UU No.30/2002), sementara kasus korupsi yang dilimpahkan oleh Kejaksaan, tetap diperiksa di pengadilan umum. Artinya dari hal tersebut kita dapat menyebabkan dualisme hukum yang nyata, sebuah ketidakpastian hukum yang kedepannya dapat menyebabkan sebuah kekacauan hukum dalam hal pemberantasan korupsi jika tidak segera diselesaikan.

Menanggapi hal ini, berdasarkan uji materil terhadap UU No.30/2002 yang diajukan oleh Mulyana W.Kusumah dan Nazaruddin Syamsudin, Mahkamah Konstitusi kemudian mengeluarkan Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan kasus korupsi hanya akan ditangani satu pengadilan saja. Putusan MK ini mempunyai beberapa implikasi, diantaranya :

1. Status konstitusionalitas dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi lebih terjamin. Dalam UU No.30/2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada ‘dalam UU’ padahal di dalam Pasal 24 ayat (3) UUD NKRI Tahun 1945 dijelaskan bahwa “Badan- badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur di dalam Undang- Undang” selain itu jika masih di ‘dalam UU’ maka tidak akan ada pengaturan komprehensif mengenai susunan dan kedudukan hakim Pengadilan Tipikor misalnya, atau tidak akan ada pengaturan mengenai fungsi dan kewenangan Pengadilan Tipikor itu sendiri secara jelas, karena memang sifatnya hanya menumpang pada UU induknya. Berbeda jika Pengadilan Tipikor itu diatur ‘dengan UU’maka akan dapat diatur secara jelas dan keseluruhan mangenai Pengadilan Tipikor, karena memang UU ini hanya mengatur khusus Pengadilan Tipikor.

2. Berkat Putusan MK ini juga, maka akan ada kejelasan mengenai masa berlaku Pengadilan Tipikor yang sekarang, tenggat waktu sampai Desember 2009 ini memberikan batas waktu yang jelas.

Tapi selain hal diatas, terdapat juga kekhawatiran apabila sampai Desember 2009 ternyata RUU Pengadilan Tipikor ini belumlah disahkan, maka Pengadilan Tipikor yang ada kini haruslah dibubarkan demi hukum. Hal ini akan dapat mengakibatkan mandulnya kinerja KPK, karena tanpa kehadiran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini, semua perkara yang telah di tindak nantinya hanya akan ‘menguap’ begitu saja, dikarenakan berdasarkan Pasal 53 UU No.30/2002 dijelaskan bahwa menetapkan adanya pengadilan tindak pidana korupsi (Pengadilan Tipikor) yang berwenang memutus perkara yang diajukan oleh KPK. Artinya adalah hanya Pengadilan Tipikor yang berwenang memutus perkara yang diajukan KPK, selain Pengadilan Tipikor tidak ada pengadilan yang berwenang memutus perkara yang diajukan KPK. Ini menunjukkan antara KPK dan Pengadilan Tipikor merupakan satu sistem yang tidak dapat dipisahkan. Ketiadaan Pengadilan Tipikor dapat meyebabkan KPK kehilangan fungsinya yang ketiga yaitu penindakan. Tentunya hal ini akan sangat meresahkan, karena di tengah kondisi seperti sekrang ini memang hanya KPK yang menjadi harapan satu- satunya dalam pemberantasan korupsi di Negara ini. Dikhawatirkan jika memang RUU Pengadilan Tipikor ini tidak disahkan sampai tenggat waktu yang ditentukan oleh MK, maka korupsi dan antek- anteknya ( kolusi dan nepotisme ) akan kembali merajela di Indonesia.

Semoga pemerintahan baru yang terpilih dapat melihat hal ini dengan bijak sehingga dapat melakukan langkah- langkah strategis yang kiranya dapat dilakukan, misalnya dengan membuat PERPU di saat tenggat waktu nanti telah habis, atau juga dengan mendorong agar pembuat UU segera menyelesaikan tugasnya sebelum Desember 2009. Tentunya kita tidak mau melihat Indonesia terpuruk oleh musuh yang bernama korupsi, cukup sudah kita ditimpa oleh berbagai macam bencana dan teror. Mari kita katakan bersama dalam keyakinan kita, perangi korupsi sampai ke akar- akarnnya. Demi Indonesia yang lebih maju dan masyarakat yang lebih sejatera sesuai dengan cita- cita bangsa.