Rabu, 19 Agustus 2009

Roman ala Calon Presiden 2009-2014: Satu Raga Berbeda Nyawa

Oleh : Wahyu D Setiawan
(Kepala Divisi Aksi dan Hubungan Luar Departemen Politik dan Hukum BEM FHUI 2009)


Tahun 2009 yang tengah berjalan ini seakan menjadi salah satu momentum peristiwa yang akan tergores dalam tinta sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Tahun 2009 mendapatkan berkah untuk memuat satu babak penting dalam cuplikan nuansa demokrasi di Negara ini. Untuk kedua kalinya, Bangsa Indonesia yang konon belakangan ini lebih sering diteriakkan dari "sabang sampai merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote" -entah suatu gradasi rasa Nasionalisme atau hanya jargon politik sesaat- akan menunaikan hak-hak konstitusinya sebagai warga negara untuk secara langsung memilih pemimpin Negara ini setelah sebelumnya 5 tahun yang lalu. Memang suatu instrumen dalam tatanan ber-Demokrasi bahwasetiap warga negara memiliki hak untuk turut serta berpartisipasi dalam jalannya roda Demokrasi. Di Indonesia, partisipasi rakyat dalam demokrasi dikawal oleh Konstitusi dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Perebutan kursi RI-1 dan RI-2 kali ini diramaikan oleh tiga bursa pasangan calon Presiden dan wakil Presiden. Pasangan Pertama yakni Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, Pasangan Kedua Soesilo Bambang Yudhoyono dan Boediono serta Pasangan Ketiga yakni Jusuf Kalla dan Wiranto. Menjelang dilaksanakannya PILPRES yang direncanakan akan berlangsung pada tanggal 8 Juli yang akan datang, serangkaian manuver politik gencar dilakukan oleh masing-masing calon demi meraih simpati rakyat untuk meraih tampuk kekuasaan di negeri ini. Dalam kesempatan ini dirasa kurang tepat untuk penulis melakukan analisis ataupun pendapat terhadap rangkaian manuver yang dilakukan oleh masing-masing calon karena masih banyak kalangan yang lebih expert untuk melakukan penelaahan terhadap hal tersebut.
Namun ada banyak hal sesungguhnya yang dapat ditarik dalam rangkaian fenomena demokrasi yang tengah berlangsung saat. Kita semua melihat, mendengar dan mengetahui terhadap serangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing calon demi meraih simpati para konstituen-nya. Manuver-manuver yang gencar dilakukan baik secara personal maupun oleh kendaraan politik masing-masing seakan telah menjadi konsumsi harian publik setidaknya dalam satu bulan terakhir. Ada serangan-serangan yang bersifat kiasan namun sangat tajam, lalu ada pula serangan yang langsung ditujukan oleh salah satu kubu terhadap kubu lain. Saling serang dan tangkis antar masing-masing calon sesungguhnya hanyalah serangan terhadap diri mereka sendiri.
Hal yang cukup menarik dibahas dalam kesempatan ini adalah kenyataan masing-masing calon, Presiden maupun Wakil Presiden ternyata pernah berada dalam satu bingkai kekuasaan yang sama. Kita semua tahu dan sejarah pun mencatat bahwa para calon yang tengah bertarung ternyata pernah berada dalam satu raga yang menguasai jalannya pemerintahan. Kita tahu bahwa antara Megawati, SBY dan Jusuf Kalla pernah berada dalam suatu bingkai kabinet Pemerintahan Gotong Royong di era kepemimpinan Megawati. Antara SBY dan Jusuf Kalla pun sampai hari ini masih berada dalam satu bingkai kekuasaan yang sama selaku duet Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya antara Jusuf Kalla dengan Boediono selaku calon Wakil Presiden dari kubu SBY, juga pernah berada dalam satu pemerintahan ketika Boediono menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian dalam kabinet SBY-JK.
Hal yang sama juga terjadi antara SBY, Prabowo dan Wiranto. Ketiganya pernah berada dalam satu kesatuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertugas selaku pengawal Kedaulatan NKRI. Antara Wiranto, SBY dan Prabowo sesungguhnya pernah menjalani hidup bersama sebagai Perwira Tinggi TNI sehingga paling tidak antara ketiganya terdapat suatu keterikatan selaku Purnawirawan TNI. Tak heran publik juga menggaungkan opini bahwa PILPRES tahun ini tak lebih dari sekedar pergulatan antara para Mantan Jendral. Opini tersebut tak urung muncul karena figur yang tampil dapat dikatakan “itu-itu saja”. Akses untuk lahirnya wajah baru atau generasi baru dalam percaturan politik elit yang belum luas ini belum memungkinkan adanya regenerasi bagi kaum Muda untuk tampil dalam pentas politik nasional.
Melihat dari fakta tersebut jelaslah bahwa apa yang saling dilontarkan satu sama lain oleh masing-masing calon hanyalah serangan terhadap diri mereka sendiri. Kritik terhadap kinerja yang telah berlalu -yang dianggap sebagai kegagalan- sesungguhnya juga adalah kegagalan dari pihak yang menyerang itu sendiri. Mengapa? Karena jika memang mereka mencela dan mengkritik masa lalu, mengapa mereka tidak berusaha memperbaiki hal tersebut dikala masih berada dalam tampuk kepemimpinan. Begitu juga jika masing-masing saling mengkritik terhadap apa yang tidak beres pada saat ini, bukankah itu adalah warisan dari ketidakberesan yang pernah ditinggalkan ketika berkuasa di masa lalu.
Namun dikala ada suatu prestasi yang luar biasa, semua selalu mengklaim bahwa keberhasilan tersebut adalah milik mereka sendiri. Bukankah keberhasilan tersebut didapat pada saat mereka berada dalam tampuk kekuasaan yang sama. Ataupun keberhasilan yang saat ini dicapai sesungguhnya adalah buah dari perjuangan yang telah dilakukan di masa lalu. Tak heran bahwa apa yang tengah berlangsung jelang PILPRES ini hanyalah sebuah kelanjutan dari rangkain prosa sejarah sebelumnya yang akan diwarisi anak cucu kita. Hakikatnya, siapa pun yang menang diantara ketiganya, kemenangan tersebut adalah kemenangan pihak "itu-itu saja". Konflik yang seakan “diciptakan” hari ini, seolah berada dalam suatu roman sejarah dengan pelaku tunggal, memiliki satu raga namun berisi nyawa nan berbeda. Babak Baru sejarah dalam pentas demokrasi masih harus menunggu lahirnya generasi baru dalam tataran Elit Politik negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar