Rabu, 19 Agustus 2009

MENGAPA UU PENGADILAN TIPIKOR PENTING ?

Disusun Berdasarkan hasil kajian Departemen Politk dan Hukum BEM FH UI 2009

Oleh : Sakti Lazuardi

Kepala Departemen Politik dan Hukum BEM FH UI 2009

Tak bisa kita pungkiri bahwa masalah korupsi menjadi masalah yang pelik bagi bangsa ini. Masalah korupsi ini bukanlah masalah sehari dua hari kemarin, tapi masalah ini sudah ada sejak zaman pemerintahan Presiden Soekarno dulu, artinya ini merupakan masalah yang urgent untuk diselesaikan, mengingat umurnya yang telah cukup tua hidup di bumi Idonesia. Oleh karenanya diskusi mengenai hal ini selalu dapat mengundang perhatian masyarakat Indonesia pada umumnya dan pemerhati hukum pada khususnya. Karena untuk membangun Negara Indonesia yang maju dan sejahtera, salah satu syaratnya adalah menjunjung tinggi konsep Good and Clean Government yang di dalamnya memuat nilai- nilai anti korupsi. Oleh karena itu, bukan hal yang sia- sia jikalau kita semua mulai melatih diri menjadi pejuang anti korupsi.

Mengingat kejahatan korupsi, berarti kita mengingat sejumlah orang yang mengambil kekayaan milik Negara untuk dijadikan miliknya secara pribadi, mungkin ini yang dipahami secara awam oleh kita semua selama ini. Secara harfiah sebenarnya korupsi berasal dari bahasa latin corruptio, kata ini punya padanan yang berupa kata kerja yaitu corrumpere yang artinya busuk, rusak menggoyahkan , memutarbalikkan dan menyogok. Ada lagi menurut Transparency International korupsi didefinisikan sebagai perilaku pejabat publik , mau politikus atau pegawai negeri , yang secara tidak wajar dan tidak taat hukum memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sini kita mulai menemukan dimensi lain dari korupsi, dimensi yang lebih luas untuk dipahami.

Setelah melihat definisi di atas kita dapat menyimpulkan bahwa korupsi berbahaya, karena identik dengan sesuatu yang negatif. Korupsi bisa menyebabkan penegakan hukum kita menjadi lemah, pembangunan Negara jadi terhambat dikarenakan banyaknya anggaran negara yang dikorupsi, juga bisa dapat menyebabkan mandegnya demokrasi karena menjalankan apa yang namanya politik uang. Artinya kemudian, wajar saja apabila kita menjadikan korupsi sebagai musuh terbesar bangsa, sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) yang menurut covenant mengenai Hak Asasi Manusia memungkinkan untuk menghukum mati pelakunya. Di sini korupsi disamakan dengan kejahatan Genosida, Terorisme dan kejahatan perang. Artinya kita dapat menyimpulkan bahwa perang melawan korupsi hukumnya adalah wajib, bahkan ada yang mengatakan kalau berperang melawan korupsi sama artinya dengan kita berjihad melawan musuh yang sesungguhnya. Ini kemudian diharapkan dapat tertanam dalam diri kita masing- masing sehingga kita dapat menjadi pribadi yang selalu mengatakan tidak pada korupsi.

Salah satu upaya berperang melawan korupsi adalah melalui lembaga- lembaga Negara yang memang mempunyai otoritas khusus untuk ini. Dalam hal ini adalah keberadaan lembaga peradilan yang independen, kredibel, dan kompeten untuk menyelesaikan kasus- kasus korupsi di Negara ini. Lembaga Peradilan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi karena masalah ini terkait erat dengan aspek penegakan hukum. Ini menjadi lahan bagi lembaga peradilan di Indonesia dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Tapi kini, kita semua seakan dihadapkan pada kenyataan bahwa lembaga peradilan kita justru identik dengan mafia peradilan, khususnya peradilan umum. Kasus suap para jaksa dan kasus kecurangan hukum lainnya seolah memberikan bukti- bukti yang jelas akan keadaan ini. Ini merupakan tamparan yang keras bagi kita semua, bahwa kita dapat melihat ‘sapu’ yang harusnya digunakan untuk membersihkan Negara ini dari segala debu dan kotoran yang bernama korupsi, justru berkutat dengan kotornya sapu itu sendiri sehingga tidak mampu membersihkan Negara dari segala macam debu dan kotoran. Ini kemudian menjadi concern kita semua, di era globalisasi yang menuntut sebuah Negara untuk bergerak cepat dan efisien, justru kita terancam menjadi Negara yang inefisiensi dan lambat akibat kebocoran – kebocoran yang diakibatkan oleh korupsi itu sendiri.

Lalu apa kemudian yang bisa kita lakukan sebagai sebuah bangsa menanggapi permasalahan ini?

Sebagai sebuah bangsa yang merdeka, Indonesia harusnya memahami masalah ini. Kalau di atas, penyakit- penyakit peradilan identik dengan peradilan umum, maka mungkin dapat dibuat mekanisme peradilan lain sebagai upaya menghindari penyakit- penyakit peradilan tadi. Sebagai upayanya maka berdasarkan pasal 53 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibuatlah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang khusus menangani kasus- kasus tindak pidana korupsi. Di tengah-tengah pesimisme publik terhadap kapasitas lembaga peradilan dalam menangani kasus-kasus korupsi, Pengadilan Khusus Tipikor adalah suatu terobosan yang rasional dan urgens dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Inilah yang kemudian menjadikan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai sesuatu hal yang spesial dan patut diperjuangkan.

Pertanyaannya kemudian, dengan hanya tercantum/bagian dari UU lain, bagaimana agar membuat kedudukan Pengadilan Khusus Tipikor ini lebih kuat di mata hukum? Pertanyaan ini menjadi penting karena sejak pembentukan Pengadilan Khusus ini, terjadi dualisme penegakan hukum terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan UU No 30/2002, Pengadilan Tipikor hanya berwenang memeriksa kasus dan tuntutan yang dilimpahkan oleh KPK (pasal 53 UU No.30/2002), sementara kasus korupsi yang dilimpahkan oleh Kejaksaan, tetap diperiksa di pengadilan umum. Artinya dari hal tersebut kita dapat menyebabkan dualisme hukum yang nyata, sebuah ketidakpastian hukum yang kedepannya dapat menyebabkan sebuah kekacauan hukum dalam hal pemberantasan korupsi jika tidak segera diselesaikan.

Menanggapi hal ini, berdasarkan uji materil terhadap UU No.30/2002 yang diajukan oleh Mulyana W.Kusumah dan Nazaruddin Syamsudin, Mahkamah Konstitusi kemudian mengeluarkan Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan kasus korupsi hanya akan ditangani satu pengadilan saja. Putusan MK ini mempunyai beberapa implikasi, diantaranya :

1. Status konstitusionalitas dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi lebih terjamin. Dalam UU No.30/2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada ‘dalam UU’ padahal di dalam Pasal 24 ayat (3) UUD NKRI Tahun 1945 dijelaskan bahwa “Badan- badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur di dalam Undang- Undang” selain itu jika masih di ‘dalam UU’ maka tidak akan ada pengaturan komprehensif mengenai susunan dan kedudukan hakim Pengadilan Tipikor misalnya, atau tidak akan ada pengaturan mengenai fungsi dan kewenangan Pengadilan Tipikor itu sendiri secara jelas, karena memang sifatnya hanya menumpang pada UU induknya. Berbeda jika Pengadilan Tipikor itu diatur ‘dengan UU’maka akan dapat diatur secara jelas dan keseluruhan mangenai Pengadilan Tipikor, karena memang UU ini hanya mengatur khusus Pengadilan Tipikor.

2. Berkat Putusan MK ini juga, maka akan ada kejelasan mengenai masa berlaku Pengadilan Tipikor yang sekarang, tenggat waktu sampai Desember 2009 ini memberikan batas waktu yang jelas.

Tapi selain hal diatas, terdapat juga kekhawatiran apabila sampai Desember 2009 ternyata RUU Pengadilan Tipikor ini belumlah disahkan, maka Pengadilan Tipikor yang ada kini haruslah dibubarkan demi hukum. Hal ini akan dapat mengakibatkan mandulnya kinerja KPK, karena tanpa kehadiran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini, semua perkara yang telah di tindak nantinya hanya akan ‘menguap’ begitu saja, dikarenakan berdasarkan Pasal 53 UU No.30/2002 dijelaskan bahwa menetapkan adanya pengadilan tindak pidana korupsi (Pengadilan Tipikor) yang berwenang memutus perkara yang diajukan oleh KPK. Artinya adalah hanya Pengadilan Tipikor yang berwenang memutus perkara yang diajukan KPK, selain Pengadilan Tipikor tidak ada pengadilan yang berwenang memutus perkara yang diajukan KPK. Ini menunjukkan antara KPK dan Pengadilan Tipikor merupakan satu sistem yang tidak dapat dipisahkan. Ketiadaan Pengadilan Tipikor dapat meyebabkan KPK kehilangan fungsinya yang ketiga yaitu penindakan. Tentunya hal ini akan sangat meresahkan, karena di tengah kondisi seperti sekrang ini memang hanya KPK yang menjadi harapan satu- satunya dalam pemberantasan korupsi di Negara ini. Dikhawatirkan jika memang RUU Pengadilan Tipikor ini tidak disahkan sampai tenggat waktu yang ditentukan oleh MK, maka korupsi dan antek- anteknya ( kolusi dan nepotisme ) akan kembali merajela di Indonesia.

Semoga pemerintahan baru yang terpilih dapat melihat hal ini dengan bijak sehingga dapat melakukan langkah- langkah strategis yang kiranya dapat dilakukan, misalnya dengan membuat PERPU di saat tenggat waktu nanti telah habis, atau juga dengan mendorong agar pembuat UU segera menyelesaikan tugasnya sebelum Desember 2009. Tentunya kita tidak mau melihat Indonesia terpuruk oleh musuh yang bernama korupsi, cukup sudah kita ditimpa oleh berbagai macam bencana dan teror. Mari kita katakan bersama dalam keyakinan kita, perangi korupsi sampai ke akar- akarnnya. Demi Indonesia yang lebih maju dan masyarakat yang lebih sejatera sesuai dengan cita- cita bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar